Jumat, 10 Juni 2011

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERBASIS “MASYARAKAT MANDIRI”

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
DEMAM BERDARAH DENGUE BERBASIS “MASYARAKAT MANDIRI”

Jubaidillah, Lutvi Heryantoro, Elman Julianda


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005─2025, disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, dan masyarakat yang semakin sejahtera (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2004). Melalui Program “Indonesia Sehat 2010”, gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (Departemen Kesehatan RI, 2003). Lingkungan sehat yang dimaksud, termasuk di dalamnya bebas dari wabah penyakit menular.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, salah satu program di bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit, termasuk wabah penyakit menular. Penanganan secara cepat terhadap wabah penyakit juga merupakan bagian dari peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang menjadi satu dari tiga prioritas program 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009 di bidang kesehatan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2004; Departemen Kesehatan RI, 2005). Saat ini, isu tentang kesehatan masyarakat menjadi perhatian dan prioritas program Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kesehatan).
Jumlah ledakan penyakit-penyakit menular semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan ini. Ada beberapa alasan yang melandasinya yaitu penebangan hutan yang meluas, pembangunan irigasi, program pengendalian vektor penyakit yang terbengkalai, kepadatan penduduk secara berlebihan disertai kondisi sanitasi yang jelek, dan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat yang masih rendah. Salah satu contoh penyakit menular yang sampai saat ini angka kejadiannya masih tinggi dan masuk dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Demam Berdarah Dengue ditularkan terutama oleh nyamuk aedes aegypti. Untuk jenis nyamuk aedes albopictus dapat menularkan DBD, tetapi peranannya dalam penyakit sangat kecil, karena biasanya hidup di kebun-kebun. Virus dengue merupakan penyebab terjadinya DBD tersebar luas di sebagian besar wilayah Indonesia, sehingga penularan DBD dapat terjadi di semua tempat/wilayah yang terdapat nyamuk penular penyakit tersebut. Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang bersifat endemis di Indonesia, yang sampai sekarang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Di Indonesia, kasus demam berdarah dengue pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, kemudian menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia, bahkan di beberapa daerah terutama di kota-kota besar menjadi endemik. (Sarwanto, 2000).
Tanpa intervensi yang memadai, kasus penyakit DBD di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 125.000 selama 2007, meningkat dari tahun 2006 sebanyak 113.640 kasus, dan 1.184 diantaranya berakibat kematian. Dari 30 propinsi se-Indonesia, propinsi yang dilaporkan adanya KLB DBD sebanyak 13 provinsi yang meliputi Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. (http://www.kapanlagi.com/h/0000166556.htmlkasus DBD).
Secara nasional angka DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun, di beberapa wilayah angka kematian ini relatif masih cukup tinggi, sedangkan sasaran nasional angka kematian DBD di Indonesia kurang dari 1,0% (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI, 2005).  Penyakit ini banyak terjadi di kota-kota yang padat penduduknya, tetapi dalam tahun-tahun belakang ini demam berdarah mulai berjangkit di daerah pedesaan. Penyebaran penyakit biasanya di mulai dari sumber-sumber penularan di kota kemudian menjalar ke daerah-daerah pedesaan. Makin ramai lalu lintas manusia di suatu daerah, makin besar pula kemungkinan penyebaran penyakit ini.
Sebagaimana diketahui, bahwa obat untuk membasmi virus belum tersedia. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Departemen Kesehatan RI, 2005), pencegahan penyakit DBD yang paling utama adalah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui kegiatan yang dikenal sebagai 3 M, yaitu Menguras bak atau penampungan air, Menutup bak atau tempat penampungan air, dan Menimbun/ mengubur barang-barang bekas seperti kaleng, botol, dan lain-lain. Kegiatan ini bertujuan untuk memutus rantai perkembangbiakan nyamuk dengan cara membasmi telur dan jentik-jentik nyamuk, sehingga diharapkan tidak sampai menjadi nyamuk dewasa. Kegiatan 3 M ini harus dilaksanakan oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.
Evaluasi dari kegiatan ini adalah dengan cara mengidentifikasi keberadaan jentik nyamuk aedes, yang dilanjutkan dengan pengukuran House Index (HI). Apabila HI di suatu wilayah lebih dari 10%, maka wilayah tersebut merupakan daerah potensial untuk terjadinya penularan DBD. Menurut Nurjazuli (1998), beberapa faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk aedes di suatu daerah adalah faktor kesehatan lingkungan, faktor pengetahuan dan pelaksanaan PSN di daerah tersebut. Lebih jauh, menurut Green (1980), suatu perilaku, yang dalam hal ini pelaksanaan PSN, ditentukan oleh beberapa faktor yaitu (1) faktor predisposisi atau faktor yang berasal dari dalam individu sendiri, yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan pengetahuan, (2) faktor enabling atau faktor yang memungkinkan yaitu manajemen dan tenaga kesehatan, (3) faktor reinforcing atau faktor penguat, yaitu keluarga dan masyarakat sekitar.
Meskipun cara ini dianggap efektif, tetapi kenyataan di lapangan tidak menunjukkan adanya penurunan kasus DBD, justru terjadi peningkatan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan sosialisasi pemerintah tentang cara tepat melakukan 3 M. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat melakukan 3 M dengan tepat, sementara masyarakat yang dengan perekonomian rendah tidak atau kurang tepat melaksanakan 3 M. Di sisi lain, angka masyarakat miskin di Indonesia sangat tinggi, sehingga program 3 M tidak terlaksana secara baik.
Mengingat penyebaran nyamuk DBD yang telah tersebar luas di seluruh tanah air, baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum, maka upaya pemberantasannya tidak hanya tugas pemerintah (tenaga kesehatan) saja, tetapi harus didukung peran serta masyarakat secara aktif. Oleh karena itu, partisipasi seluruh lapisan masyarakat melalui strategi yang lebih bersifat (1) akomodatif, (2) fasilitatif/bottom up, (3) kemitraan, yakni masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat termasuk swasta dan lain-lain mempunyai peran yang lebih besar, (4) terfokus, dengan prioritas, local specific, bertahap, (5) lebih mengoptimalkan kerjasama lintas sektor didukung data, terutama data sosial budaya, serta diprogramkannya PSN DBD secara luas di propinsi, kabupaten dan kota, dan pada setiap Puskesmas.
Untuk membatasi penularan penyakit DBD yang cenderung meluas, mencegah KLB, dan menekan angka kesakitan maupun kematian, perlu menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya penyakit DBD sejak dini. Untuk membina peran serta masyarakat perlu dilakukan pembentukan dan pengoptimalan sumber daya dan kekompakan masyarakat setempat, sebab sejauh ini partispasi masyarakat dalam rangka pencegahan dan pemberantasan DBD belum optimal. Untuk itu perlu dipersiapkan beberapa petugas kesehatan dari dinas kesehatan, terutama yang memiliki keahlian di bidang epidemiologi, untuk memberikan pelatihan-pelatihan kepada beberapa masyarakat untuk menjadi kader kesehatan. Diharapkan dengan adanya kader-kader kesehatan ini, dapat memantau setiap kegiatan masyarakat dan lingkungannya, serta melakukan pemeriksaan jentik nyamuk secara berkala.
Dari uraian pada latar belakang di atas, perlu segera adanya upaya pemberantasan sarang nyamuk secara sistematis, agar tidak terjadi KLB DBD dengan cara pengoptimalan atau keterlibatan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam kesehatan perlu ditingkatakan sebagai wujud nyata pencegahan dan pemberantasan penyakit potensi KLB khususnya DBD sejak dini. Pemberdayaan masyarakat yang digagas ini sangat mendesak untuk segera direalisasikan, demi mencegah terjadinya KLB DBD di Indonesia. Format pemberdayaan masyarakat mandiri dapat menjadi proyek percontohan terbagus bagi pencegahan penyakit menular dan wabah sejenis, khususnya DBD.
            Berdasarkan uraian masalah di atas, maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana konsep pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD berbasis “masyarakat mandiri”?
2.      Bagaimana cara pengorganisasian masyarakat pada program “masyarakat mandiri”?

B.     Konsep Gagasan Kreatif
Dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD berbasis “masyarakat mandiri” ini, difokuskan pada upaya maksimal pemberdayaan setiap warga masyarakat di suatu tempat pemukiman, untuk berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan DBD. Perbedaan dengan program yang saat ini dilakukan, program pemberantasan penyakit DBD berbasis “masyarakat mandiri” tidak hanya bersifat parsial dan bertumpu pada petugas kesehatan (Puskesmas) setempat. Namun, justru masyarakatlah yang melakukannya secara terprogram dan terjadwal secara rapi. Saat ini program yang sedang berlangsung harus dirubah dengan suatu pola lain yang baru, yang lebih efektif dan efisien, dengan daya jangkau yang luas.
Pada dasarnya, masyarakat perlu digerakkan dengan suatu pola terpadu, dengan cara (1) kesadaran menyeluruh, (2) partisipasi aktif, (3) kemandirian penuh. Dalam program “masyarakat mandiri” ini, mempunyai makna “kesadaran, keaktifan, dan kemandirian”.

C. Tujuan dan Manfaat
            Tujuan penulisan ilmiah ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut.
1.      Mengetahui konsep pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD berbasis “masyarakat mandiri”.
2.      Mengetahui cara pengorganisasian masyarakat pada program “masyarakat mandiri”.
Manfaat penulisan ilmiah ini secara umum adalah ikut membantu dan menyukseskan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (dilakukan oleh Departemen Kesehatan) dalam mewujudkan “Indonesia Sehat 2010”. Secara khusus, manfaat penulisan ilmiah ini bagi masyarakat dan setiap individu adalah sebagai berikut.
1.      Meningkatnya akses masyarakat dalam hal pengetahuan dan pemahaman mereka tentang kesehatan lingkungan dan hal-hal yang terkait dengan higiene dan sanitasi lingkungan secara praktis.
2.      Mencegah dan menanggulangi terjadinya wabah penyakit DBD.
3.      Membiasakan masyarakat hidup bersih, sehat, dan tertib, di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
4.      Memberikan keterampilan teknis kepada masyarakat tentang upaya-upaya perlindungan pada waktu sebelum dan ketika timbul kasus DBD.
5.      Terciptanya masyarakat yang mampu menyelesaikan persoalan kesehatan, terutama pencegahan dan penanggulangan DBD secara mandiri, tanpa tergantung dari petunjuk dan tindakan dari petugas kesehatan.
6.      Meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat, sehingga mengurangi dampak ekonomi akibat keterjadian timbulnya penyakit.


BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue
    1. Pengertian Demam Berdarah Dengue
               Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan nyamuk aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2─7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda pendarahan dikulit berupa bintik pendarahan (petichiae), dan lebam atau ruam. Kadang-kadang disertai mimisan, berak darah, muntah darah dan kesadran menurun atau shock. Chin (2000) mengatakan Demam Berdarah (DB) adalah penyakit virus dengan demam akut dengan ciri khas muncul tiba-tiba, demam biasanya berlangsung selama 3─5 hari disertai dengan sakit kepala berat, mialgia, tidak nafsu makan, artralgia, sakit retro orbital, dan timbul ruam. Ruam makulopapuler biasanya muncul pada masa deferfescence. Fenomena pendarahan minor, seperti petechie terjadi selama demam.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
    a.  Penyebab penyakit (agent).
               Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang masuk dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Virus yang terserap oleh nyamuk bersama-sama dengan darah penderita DBD mengalami multiplikasi dan tersebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk di kelenjar liurnya. Dalam jangka waktu antara 8─10 hari setelah menggigit darah penderita, nyamuk tersebut menjadi terinfeksi dan siap menularkan virus dengue kepada manusia yang sehat sepanjang hidupnya (Nasrudin, 2000).
    b.      Pejamu (host).
              Pejamu penyakit DBD adalah manusia, yang penderitanya merupakan sumber penularan. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Nyamuk tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang sakit. Kemudian virus yang ada di kelenjar liur nyamuk berkembangbiak dalam waktu 8─10 hari, sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya.
    c.   Lingkungan (environment).
    Menurut Kadar (2003), lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan vektor, sehingga berpengaruh pula terhadap penularan penyakit DBD, antara lain sebagai berikut.
    1)      Lingkungan fisik, terdiri dari genangan air, khususnya genangan air yang tidak kontak langsung dengan tanah, tempat penampungan air, air di pelepah atau batang pisang, air di kaleng bekas atau ban bekas dan tanaman hias.
    2)      Lingkungan biologi, terdiri dari tanaman yang dapat menampung air pada pelepah, daun maupun batangnya.
    3)      Lingkungan sosial-ekonomi, berupa perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya, terutama menguras bak atau tempat penampungan air dan sampah-sampah yang dapat menampung air.
    d.      Masa inkubasi, antara 3-14 hari.
    e.      Masa penularan.
                Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia yaitu : sejak beberapa saat sebelum panas sampai saat masa demam berakhir, biasanya berlangsung salama 3─5 hari. Nyamuk menjadi infektif 8─12 hari sesudah mengisap darah penderita viremia dan tetap infektif selama hidupnya.
 3.      Pengendalian dan Pemberantasan DBD
                Pemberantasan nyamuk aedes aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Pengendalian vektor bertujuan untuk menurunkan kepadatan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan lagi bagi kesehatan masyarakat. Untuk melakukan pengendalian vektor perlu diketahui data kuantitatif vektor diantaranya indek vektor. Kegiatan pemberantasan nyamuk aedes yang dilaksanakan sekarang ada dua cara yaitu (Chahaya, 2003) sebagai berikut.
    a.     Dengan cara kimia
              Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (cold fogging = ultra low volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying), sebab nyamuk aedes aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung. Pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan kedalam kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic. Pemberantasan larva dapat digunakan abate (larvasida temefos) yang ditaburkan ke dalam bejana tempat penampungan air dengan dosis 1 gram abate untuk 10 liter air. Tempayan dengan volume 100 liter diperlukan abate 100/10 x 1 gram = 10 gram (1 sendok makan berisi 10 gram abate). Abatisasi pada tempat penampungan air mempunyai efek residu selam 2─3 bulan (Sungkar, 2005).
    b.     Pengelolaan lingkungan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
               Cara ini dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi tempat-tempat perindukan, dikenal sebagai PSN, yang pada dasarnya ialah pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. PSN ini dapat dilakukan dengan cara:
    1)      Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air sekurangkurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama 7─10 hari, secara teratur menggososk dinding bagian dalam dari bak mandi dan semua tempat penyimpanan air untuk menyingkirkan telur nyamuk.
    2)      Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan tempat air lain, sehingga nyamuk tidak dapat masuk. Tempat penampungan air yang tertutup tetapi tidak terpasang dengan baik, akan berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk karena ruangannya lebih gelap dari pada yang tidak tertutup sama sekali.
    3)      Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali.
    4)      Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang nyamuk.
    5)     Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah agar tidak menampung air yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk.
    6)      Membersihkan air yang tergenang diatap rumah karena saluran air yang tersumbat dengan cara dikeringkan agar tidak menjadi tempat perindukan nyamuk.
    7)      Setiap dua atau tiga bulan sekali, menaburi dengan bubuk abate tempat-tempat yang menampung air dan sulit dikuras.
    8)      Memelihara ikan mujair ataupun ikan kepala timah yang suka makan jentik-jentik nyamuk.

B. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan
Kesehatan masyarakat didefinisikan oleh Winslow pada tahun 1920 sebagai ilmu dan kiat (art) untuk mencegah penyakit, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kesehatan dan efisiensi masyarakat melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk sanitasi lingkungan, pengendalian penyakit menular, pendidikan higiene perseorangan, mengorganisir pelayanan medis, dan perawatan, agar dapat dilakukan diagnosis dini dan pengobatan pencegahan, serta membangun mekanisme sosial, sehingga setiap insan dapat menikmati standar kehidupan yang cukup baik untuk dapat memelihara kesehatan (Slamet, 2004).
Berdasarkan definisi kesehatan masyarakat di atas, maka masyarakat hanya akan sehat, apabila setiap insan ikut serta menyehatkan dirinya sendiri serta lingkungannya. Tanpa partisipasi masyarakat (termasuk para ahli), kesehatan tidak akan tercapai (Slamet, 2004). Filosofi inilah yang selalu dipegang oleh ahli kesehatan dalam menyelesaikan masalah-masalah kesehatan masyarakat.
DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sampai saat ini masih menjadi permaslahan yang sangat sulit untuk diberantas. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat
Menurut H.L Blum yang dikutip oleh Bustan (2002) menegaskan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya suatu penyakit adalah lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan hereditas. Banyak hal yang mendasari sulitnya pemberantasan DBD di Indonesia, diantaranya kurang pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berprilaku hidup sehat dan memperhatikan keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal sehingga banyak tempat perindukan nyamuk. Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan persoalan DBD  dan sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat tentang cara pemberantasan DBD serta pencegahannya yang tepat dan sesuai dengan keadaan lingkungan sekitarnya.

BAB III
METODE PENULISAN

A.    Prosedur Pengumpulan Data
Data-data yang disajikan dalam penulisan ilmiah ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Data-data tersebut diperoleh dari hasil observasi terbatas secara visual di masyarakat, melihat kejadian-kejadian DBD di media cetak dan elektronik, studi literatur berupa text book, prosiding seminar, majalah, maupun browsing internet. Khusus data yang bersifat riil (kenyataan di masyarakat), observasi secara terbatas diperoleh pada saat tim penulis melaksanakan Praktek Belajar Lapangan (PBL) pada beberapa wilayah di Kabupaten Bantul.

B.     Pengolahan Data
Data tentang kasus DBD di masyarakat diperoleh dari beberapa sumber berita yang relevan, disajikan secara deskriptif untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya dan meningkatnya kasus DBD di masyarakat. Pemaparan permasalahan merangkum gambaran kejadian kasus DBD dan tindakan pencegahan maupun penanggulangannya yang saat ini dilakukan oleh masyarakat maupun petugas kesehatan.

C.    Analisis Sintesis
Dengan mengacu pada beberapa pustaka dan teori yang relevan dalam bidang kesehatan masyarakat khususnya tentang DBD dan pemberdayaan masyarakat dengan analisis secara mendalam untuk membuat konsep pemberantasan dan pencegahan DBD berbasis “masyarakat mandiri”. Dalam pembahasan disampaikan tentang pengorganisasian pembetukan kader kesehatan dari berbagai kelompok lapisan masyarakat yang kompeten bagi program “masyarakti mandiri”.

D.    Transfer Gagasan
Pada bagian terakhir penulisan ilmiah ini, diberikan kesimpulan dan disampaikan saran-saran secara tertulis kepada beberapa pihak, yaitu kepada pemerintah, perguruan tinggi (termasuk mahasiswa), dan para ahli dalam bidang kesehatan masyarakat, khususnya bidang epidemiologi. Saran-saran tersebut disampaikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari penulisan ilmiah ini.

BAB IV

ANALISIS PERMASALAHAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

A.    Konsep Pencegahan dan Pemberantasan DBD Berbasis “Masyarakat Mandiri”
Sebagaimana diketahui bahwa DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, sementara obat untuk mengobati virus belum tersedia. Mengingat obat DBD belum tersedia maka hal yang paling tepat yang dapat dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi persoalan DBD, tetapi hasil yang dicapai tidak maksimal justru terjadi peningkatan kasus DBD.
Prinsip pengendalian penyakit DBD sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh teori terjadinya penyakit oleh Gordon (Slamet, 2005) bahwa penyakit timbul karena interaksi yang tidak seimbang antara pejamu, penyebab penyakit, dan lingkungan. Dalam hal ini faktor manusia berperan penting dalam melakukan pengendalian. Untuk itu, manusia perlu mengenal faktor-faktor risiko yang potensial menimbulkan kasus DBD di masyarakat.
Berdasarkan fenomena di atas dan pada bab-bab sebelumnya bahwa pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemberantasan DBD dan pencegahannya merupakan solusi yang sangat tepat. Namun, kebijakan yang ada, baik tentang penanggulangan wabah penyakit menular secara umum, maupun penanggulangan wabah demam berdarah secara khusus, diarahkan pada terdorongnya partisipasi masyarakat secara aktif. Ini sesuai dengan paradigma baru pembangunan kesehatan yang dirumuskan dalam visi dan misi Indonesia Sehat 2010 (Departemen Kesehatan RI, 2003).
Kebijakan pelibatan partisipasi masyarakat secara aktif yang ada cenderung lebih bersifat persuasif, sehingga seringkali tidak kuat mendorong masyarakat menyukseskan pemberantasan penyakit menular, termasuk demam berdarah dengue (www.theindonesianinstitute.com). World Health Organization  (2004) mencatat bahwa di negara-negara yang terdapat wabah DB, masih terjadi dalam besaran yang mengkhawatirkan. Program pengontrolan vektor penular cenderung dilakukan secara pasif oleh pemerintah. Ketidakberhasilan pemberantasan menyeluruh dapat terjadi, sebab tidak semua masyarakat melakukan upaya pemberantasan vektor penular penyakit, pemberantasan sarang nyamuk tidak mungkin dapat tuntas dilakukan bila anggota masyarakat sampai ke lingkungan terkecil rumah tangga tidak melakukannya. Surjadi (2005) mengingatkan bahwa pemberantasan sarang nyamuk dengan kegiatan 3 M seharusnya juga dilakukan tidak hanya di rumah, tetapi juga di tempat umum, di mana masyarakat banyak berkumpul di pagi hari seperti di sekolah, kantor, kampus, dan sebagainya, mengingat bahwa nyamuk aedes aegypti menggigit manusia pada pagi hari.
Pada dasarnya untuk dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan DBD secara utuh dan menyeluruh diperlukan peran serta masyarakat secara menyeluruh juga. Pencegahan dan pemberantasan terhadap demam berdarah berbasis kemasyarakatan yang sadar, aktif dan mandiri kemudian disebut “masyarakat mandiri” yaitu sebagai berikut.

  1. Sadar

Maksud sadar disini adalah bahwa DBD akan dapat dicegah apabila masyarakat mempunyai kesadaran dan kepedulian terhadap keadaan lingkungan di sekitarnya. Dewasa ini masyarakat seolah tidak peduli terhadap lingkungannya. Hal ini terbukti tingginya prevalensi penyakit yang timbul dimasyarakat berbasis lingkungan.
Menurut A.W. Koban dalam www.theindonesianinstitute.com, strategi dan program-program yang dicanangkan diarahkan pada gerakan partisipasi masyarakat, tetapi lebih banyak bersifat himbauan tanpa didukung oleh penguatan penegakan hukum yaitu undang-undang dan peraturan tentang wabah penyakit, sehingga gerakan pemberantasan sarang nyamuk belum sepenuhnya berhasil. Oleh karena itu, direkomendasikan pada pasal 14, Undang-undang Nomor 4, Tahun 1984, Tentang Wabah Penyakit Menular, yang mengatur sanksi pelanggaran dan kelalaian dalam upaya pemberantasan wabah penyakit menular dilaksanakan secara tegas aturan dan sanksinya, sehingga masyarakat lebih bersungguh-sungguh secara sadar berpartisipasi memberantas wabah penyakit menular.
2. Aktif
Kesadaran tidak akan mampu mecegah dan memberantas DBD, masyarakat diharapkan juga berperan aktif dalam PSN. Pemberantasan Sarang Nyamuk yang paling familiar di masyarkat adalah gerakan 3 M (menguras, menutup, dan mengubur), tetapi sejauh ini upaya tersebut belum memperlihatkan hasil yang memuaskan justru kebalikannya. Tidak maksimalnya gerakan 3 M ini diduga kurang pahamnya masyarakat dalam pelaksanaan tekhnisnya, disamping itu sempitnya pemikiran masyarakat terhadap 3 M tersebut yang hanya berkisar pada bak mandi, tempat penampungan air,  dan tempat sampah.
Keaktifan masyarakat sangat penting dalam PSN sebab epidemiologi penyakit DBD adalah genangan air, khususnya genangan yang tidak kontak langsung dengan tanah seperti bak air, tempat penampungan air bersih (drum, tempayan), air di pelepah daun keladi, atau batang pisang, air dikaleng bekas atau ban bekas, tanaman hias. Genangan-genangan ini merupakan tempat perindukan nyamuk aedes yang sangat ideal. Pemberantasan Sarang Nyamuk sangat sulit dilakukan jika tanpa adanya peran aktif masyarakat secara menyeluruh.
Peran pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan RI atau Dinas Kesehatan setempat sangat dibutuhkan, terutama dalam memberikan penyuluhan atau sosialisasi yang terkait dengan cara PSN yang baik, benar dan tepat waktu. Telur aedes aegypti akan bertahan sampai beberapa bulan dan akan menetas dalam waktu 4 hari jika tergenang air. Oleh karena itu masyarakat harus aktif melakukan kerja bakti minimal 1 minggu sekali.
Menurut A.W. Koban dalam www.theindonesianinstitute.com, gerakan PSN tidak hanya dicanangkan sebagai himbauan, tetapi sebagai keharusan terutama menjelang musim hujan dan tidak boleh dilalaikan sepanjang tahun. Terkait dengan ini, diperlukan revisi Pasal 6, Undang-undang Nomor 4, Tahun 1984 di atas, sehingga partisipasi masyarakat merupakan keharusan, bukan hanya himbauan, dengan sanksi yang jelas dan diberlakukan dengan tegas, seperti misalnya sanksi denda uang atau penjara bila terjadi pelanggaran atau kelalaian. Perlu dipertimbangkan juga perangkat hukum khusus yang mengatur langsung tentang pemberantasan sarang nyamuk. Untuk hal ini, dan juga dapat berlaku untuk penegakan aturan hukum dalam bidang kesehatan lainnya, dapat diusulkan untuk diadakannya perangkat penegak hukum yang akan berfungsi sebagai ”polisi kesehatan” yang mengawasi pelaksanaan aturan-aturan kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
3. Mandiri
Kemandirian masyarakat sangat dibutuhkan terutama dalam mengatasi hal yang erat kaitannya dengan tempat tinggal atau keadaan sekitarnya, seperti memperhatikan keadaan lingkungannya agar tetap bersih, sehat, dan aman dari perindukan vektor penyakit. Kemandirian masyarakat dalam hal pencegahan dan pemberantasan DBD dapat dilakukan sebelum dan saat adanya kasus DBD. Kemandirian sebelum terjadinya DBD dapat berupa keaktifan dan kesadaran masyarakat terhadap keadaan lingkungannya, serta selalu memperbaharui pengetahuan mereka dengan selalu menhadirkan tenaga penyuluh yang berasal dari Dinas Kesehatan setempat mengenai DBD, sehingga masyarakat mampu melakukan PSN, meskipun tanpa adanya bantuan atau campur tangan pemerintah setempat, misalnya kegiatan rutin berupa kerja bakti minimal seminggu sekali.
Kemadirian pada saat adanya masyarakat terkena DBD, masyarakat tidak panik dalam menghadapi situasi ini dan sesegara mungkin melaporkan ke Puskesmas atau ke Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten, baik melalui tulisan maupun secara lisan. Bagi penderita yang diduga menderita DBD sesegera mungkin dibawa ke Puskesmas setempat, sedangkan di lingkungan masyarakat sendiri sesegera mungkin melakukan penyemprotan (fogging). Fogging dilakukan terutama pada waktu ditemukan tersangka atau penderita DBD, dilokasi tersebut sebagai titik pusat dengan radius sekitar 100─200 meter dan dilakukan 2 kali dengan selang waktu 7─10 hari.
Konsep pencegahan dan pemberantasan DBD secara teknis dapat ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Teknis pelaksanaan program
No.
Jenis Program
Aplikasi Pelaksanaan Program
Media
Pelaksana
1
Sadar
Sosialisasi kesadaran (kepedulian) masyarakat
Poster dan media massa
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM), Perguruan Tinggi
2
Aktif
Pelatihan teknis, dorongan, dan motivasi  yang mengarah pada keaktifan (tindakan) masyarakat
Forum pertemuan dalam berbagai kesempatan resmi
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, LSM, Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat
3
Mandiri
Pelatihan yang dimaksudkan untuk tanggap secara cepat, tanpa menunggu petunjuk Pemerintah
Forum pertemuan dalam berbagai kesempatan resmi
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, LSM, Perguruan Tinggi

B.     Pengorganisasian Pembentukan Kader Kesehatan
Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan DBD berbasis “masyarakat mandiri” dibutuhkan keterlibatan masyarakat secara umum. Sebelum melibatkan masyarakat diberikan terlebih dahulu pengetahuan dan pelatihan agar masyarakat dapat dengan mudah menjalankan pencegahan dan pemberantasan DBD.  Dalam melaksankan pelatihan dibutuhkan keterlibatan pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) d bidang kesehata, maupun para ahli surveilans epidemiologi. Pemberdayaan inilah yang perlu ditekankan dalam menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat, sesuai agar implementasi program dapat terealisasi secara efektif dan efisien.
Pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat sampai saat ini masih belum maksimal diterapkan oleh Pemerintah (Dinas Kesehatan). Sebagai contoh masih tingginya kasus-kasus penyakit tidak menular dan penyakit menular seperti DBD. Banyak cara yang sudah dilakukan Pemerintah untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan DBD, tetapi hasil yang dicapai belum maksimal.
Pemerintah sebenarnya dapat memberdayakan masyarakat sebagai suatu sarana dalam penanggulangan berbagai jenis penyakit terutama penyakit yang berbasis lingkungan. Adanya pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan diharapkan akan memampukan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri, keluarga, serta masyarakat sekitarnya. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pencegahan dan pemberantasan DBD dapat dilakukan dengan  pengorganisasian pembentukan kader kesehatan.
Dalam kaitannya dengan pengorganisasian masyarakat, partisipasi pasif masyarakat menjadi persoalan tersendiri bagi tokoh masyarakat, lembaga sosial masyarakat dan kader kesehatan yang telah mampu berperan aktif dalam penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat menganut nilai-nilai budaya pola hidup sehat, menunjukkan adanya partisipasi aktif dan peranan yang cukup tinggi dalam upaya untuk mensukseskan pelaksanaan “masyarakat mandiri”. Selain itu, agar masyarakat mampu mengembangkan usaha peningkatan pendapatan kader.
1. Pelatihan Tenaga dan Kader Kesehatan
Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat berasal dari tim khusus yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu kesehatan masyarakat terutama bidang epidemiologi dan entomologi. Tim pelatih dapat berasal dari instansi-instansi pemerintah (bagian P2PL Dinas Kesehatan dan Puskesmas), para ahli kesehatan masyarakat khususnya bidang epidemiologi dan LSM yang bergerak di bidang kesehatan.
Materi yang diberikan pada pelatihan ini meliputi (1) penyelidikan epidemiologi, (2) surveilans epidemiologi, (3) penanggulangan fokus, (4) larvasiding, (5) pemeriksaan jentik berkala, (6) pemberantasan sarang nyamuk yang cepat dan tepat.
2. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan sangat penting untuk memberikan pemahaman dan pengetahauan awal kepada masyarakat untuk menanamkan secara khusus nilai-nilai budaya setempat dalam menjaga kesehatan ibu dan masalah kesehatan masyarakat lainnya. Upaya promosi kesehatan ini dapat berupa penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan secara rutin sebagai wujud peringatan agar masyarakat selalu berperilaku hidup sehat. Promosi kesehatan dilakukan secara periodik dengan jadwal yang dibuat secara baku. 
Menurut Mahfudz, Suryani, Sutrisno, dan Santosa (2005), strategi promosi kesehatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a.       Advokasi kesehatan, yaitu pendekatan kepada para pemimpin atau pengambil keputusan, agar dapat memberikan dukungan, kemudahan, dan semacamnya pada upaya pembangunan kesehatan.
b.      Bina suasana, yaitu upaya untuk membuat suasana atau iklim yang kondusif atau menunjang pembangunan kesehatan, sehingga masyarakat terdorong untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat.
c.       Gerakan masyarakat, yaitu upaya untuk memandirikan individu, kelompok, dan masyarakat agar berkembang kesadaran, kemauan, dan kemampuannya di bidang kesehatan, yang dengan perkataan lain, agar secara proakif masyarakat dapat mempraktikkan hidup bersih dan sehat secara mandiri.
Media yang dapat digunakan dalam promosi kesehatan sama dengan media dalam pelatihan-pelatihan di bidang lain. Media-media tersebut meliputi mesin-mesin LCD dan OHP, panduan-panduan praktis mengenai cara pencegahan dan pemberantasan DBD berbasis “masyarakat mandiri” berupa poster, buku saku, dan leaflet. Media yang digunakan dalam promosi kesehatan ini disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan kepada masyarakat yang menjadi sasaran.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
     1.      Konsep pencegahan dan pemberantasan DBD berbasis “masyarakat mandiri”, pada dasar memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang tata cara pencegahan dan pemberantasan DBD secara benar dan tepat. Untuk dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan DBD secara utuh dan menyeluruh diperlukan peran serta masyarakat secara menyeluruh. Pencegahan dan pemberantasan terhadap demam berdarah berbasis masyarakat yang memiliki kesadaran, keaktifan, dan kemandirian, yang disebut sebagai “masyarakat mandiri”.
      2.       Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan DBD berbasis “masyarakat mandiri” dibutuhkan berbagai cara. Diantara cara tersebut adalah memberikan pengetahuan dan pelatihan secara tepat agar masyarakat dapat dengan mudah menjalankan pencegahan dan pemberantasan DBD. Dalam melaksanakan pelatihan dibutuhkan keterlibatan pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan, LSM, dan Perguruan Tinggi di bidang kesehatan.
B.     Saran
1.      Perlu segera disusun langkah-langkah kongkrit untuk penerapan secara praktis program pencegahan dan pemberantasan DBD berbasis “masyarakat mandiri”.
2.      Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan agar melakukan langkah yang signifikan dalam pemberdayaan masyarakat umum, yang dapat dimulai gerakan tersebut pada organisasi masyarakat tingkat terendah, yaitu Rukun Tetangga (RT).
3.      Pemerintah Daerah agar memanfaatkan kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi untuk membantu program-program pembangunan masyarakat.
4.      Kepada Perguruan Tinggi, khususnya jurusan kesehatan agar mensosialisasikan hal-hal yang berkenaan dengan DBD dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan secara rutin.
  


DAFTAR PUSTAKA


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Agenda 100 Hari Pertama: Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera. Jakarta: Bappenas.  http://www.bappenas.go.id/pnData/ContentExpress/15/isi_100hari.htm25 November 2007.

Bustan, M.N. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Chahaya, I. 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia. Bagian Kesehatan Lingkungan, Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Chin, J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Terjemahan I.N. Kandun, Jakarta: CV Infomedika.

Departemen Kesehatan RI. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Profil Kesehatan 2002. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depatemen Kesehatan RI.

Kadar, A.. 2003. Epidemiologi dan Penyakit Menular. Magelang: Balai Pelatihan Kesehatan.

Kapanlagi.com. 2007. Kasus-kasus DBD. (http://www.kapanlagi.com/h /0000166556.htmlkasus DBD). 5 Februari 2008.

Koban. 2005. The Indonesian Institute. www.theindonesianinstitute.com. 16 Februari 2008.

Lemeshow, S., Lwanga, S.K. 1991, Sample Size Determination in Health Studies. Geneva: World Health Organization.

Machfoedz, I., Suryani, E., Sutrisno, dan Santosa, S. 2005. Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya.
Nadesul, H. 2004. 100 Pertanyaan dan Jawaban Demam Berdarah. Jakarta: Penerbit Kompas.

Nasruddin, 2000. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian DBD di Kabupaten Sukoharjo. Laporan Penelitian Analitik. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Sarwanto, 2000. Kematian Karena DBD pada Anak dan Faktor Penentunya. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan.

Slamet, J.S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Slamet, J.S. 2005. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sungkar, S. 2005. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 55, Nomor 4, Halaman 155.

Surjadi, C. 20 Maret, 2005. Belajar Menanggulangi DBD dari Kuba. Suara Pembaruan, Halaman 12.

World Health Organization. 2004. Situation of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever in the South-East Asia Region: Prevention and Control Status in SEA Countries. http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332.htm. 23 September 2007.


BIOGRAFI PENULIS

1.  Nama                         :       Jubaidillah
      NIM                           :       05029069
      Tempat/tgl lahir         :       Tembilahan, 8 Juli 1985
      Jenis Kelamin            :       Laki-laki
      Peminatan                  :       Epidemiologi dan Penyakit Tropik    
      Jurusan                       :       Ilmu Kesehatan Masyarakat
      Karya Ilmiah              :      
-          Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bagi Aktivitas di Rumah Tangga (Program Pendukung kampanye Indonesia sehat 2010).
-          Penegatahuan dan Perilaku Masyarakat tentang Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Dusun Karang Ploso, Piyungan, Bantul.
-          Hubungan Suhu, Kelembaban dan Cahaya Terhadap Keberadaan Jentik Nyamuk di Dusun Kuden, Piyungan, Bantul.
-          Sosialisasi Kesehatan dan Keselamatan Pada Setiap Aktivitas Anak Usia Sekolah Dasar
Prestasi Ilmiah           :
-          Juara II Mahasiswa Berprestasi Tingkat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, tahun 2008.
-          Juara III LKTM Bidang IPS Tingkat Kopertis Wilayah V, tahun 2007.
-          Finalis LKTM Bidang IPS Tingkat Wilayah B tahun 2007 

2.   Nama                         :       Lutvi Heryantoro
      NIM                           :       05029107
      Tempat/tgl lahir         :       Sarko, 04 Maret 1987
      Jenis Kelamin            :       Laki-laki
      Peminatan                  :       Epidemiologi dan Penyakit Tropik    
      Jurusan                       :       Ilmu Kesehatan Masyarakat
      Karya Ilmiah              :    
-          Gambaran Pengolahan Sampah Rumah Tangga di Dusun Banyakan I, Sitimulyo PiyunganBantul, Yogyakarta.
-          Hubungan Antara Kelembapan udara dengan Keberadaan Jentik Nyamuk  di Pedukuhan Kuden, Piyungan, Bantul.


3.   Nama                         :       Elman Julianda
      NIM                           :       06029012
      Tempat/tgl lahir         :       Alur Selebu, 07 Juli 1987
      Jenis Kelamin            :       Laki-laki
      Jurusan                       :       Ilmu Kesehatan Masyarakat
      Karya Ilmiah              :       -
Prestasi Ilmiah           :       Juara III Kompetisi Scrable tingkat SMA se-Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar