Jumat, 11 Maret 2011

DONGENG PENANTIAN

Sepi dirundung senyap, malam dibekap gelap. Jangkrik–jangkrik dan dedemit–dedemit serta pengguasa malam nyanyikan senandung kepedihannya sendiri, tralala-tralili menertawakan sepi yang sebenarnya gaun yang ia kenakan dikulit pitam diri.

Tertekan batin dan kata terbekap di tenggorok. Tatkala semua tak tertahan, anjing liar pergi-Lari kemudian berpekik dan alam hanya bisa berkidik.

Serta merta anjing terseok mengendus tapak senyum-pandang hilang, mencumbui tanah tubuh dibayang usang, ½ terkulai harap mengalir di sela candela raya pedih-resah diam berlambang, kemudian bertanya kemana pandang–kemana hilang.

Anjing melangkah mengendus jejak disemat kenang, tak tersentuh cukup mengasuh dalam gelap terang kunang-kunang, itu saja tampak tlah cukup membuatnya diberang senang.

”Lalu apa lagi yang terharap jika alam maunya meremang?”

Jangkrik dan dedemit serta penguasa malam bentak sepi dirundung senyap. Dimulai dari kerikan jangkrik bersaut lolong anjing, dedemit dan penguasa malam mulai kembali berani bersenandung lantunkan jejak kenang seraya menunggu,

”Malam dengan bulan tetap terbaik di hatinya sampai pun ruang-ruang itu semati tugu.”

Yogyakarta, 11 mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar