Kamis, 22 Desember 2011

Creeping Eruption





Creeping Eruption sering disebut juga Cutanius Larva Migrans, dermatosis linearis migrans, sandworm disease. Pada umumnya terjadi pada anak-anak terutama yang berjalan tanpa alas kaki atau yang sering bermain dengan tanah atau pasir. Petani dan tentara juga sering mengalami hal yang sama. Sering terjadi pada daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab. Penyakit ini banyak dijumpai di negara-negara seperti Afrika, Amerika Selatan, Amerika Barat dan di Idonesia. Pemeriksaan yang dilakuakn di Jakarta menunjukan pada sejumlah anjing terdapat 68% Ancylostoma Caninum dan 18% Ancylostoma Braziliense sedangkan pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma Braziliense.


1.     Definisi
Merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing (Djuanda, A., dkk., 2010). Menurut Inge Sutanto (2008), Creeping Eruption merupakan dermatitis dengan gambaran khas, gambaran khas itu berupa kelainan intrakutanserpiginosa, yang antara lain disebkan oleh Ancylostoma Caninum dan Ancylostoma Braziliense 2.     Epidemiologi
Creeping eruption ditemukan di seluruh dunia tapi paling sering terjadi di daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan danBarat, terutama Amerika Serikat bagian tenggara, Karibia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Barat, India, dan Asia Tenggara, di Indonesia pun banyak dijumpai. Di Amerika Serikat, cacing tambang pada hewan ditemukan di mana-mana tetapi lebih sering sepanjang pantai timur dari pantai barat. Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena tingginya mobilitas dan tamasya.
Dampak global zoonosis cacing tambang pada anjing dan kucing tidak diketahui, begitu juga jumlah orang menderita penyakit yang disebabkan oleh parasit ini juga tidak diketahui. Cutaneus Larva Migrans (CLM) sering dilaporkan oleh wisatawan yang baru kembali dari daerah tropis yang memiliki tanah dan/atau pasir terpapar, yaitu pada tempat-tempat di mana anjing dan kucing cenderung terinfeksi cacing tambang. CLM kemungkinan menyebabkan masalah yang signifikan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, meskipun penyakit ini tidak dilaporkan secara teratur. Di daerah yang pedesaan, anjing dan kucing sering dibiarkan bebas berkeliaran dan memiliki tingkat infeksi cacing tambang yang cukup tinggi, hal itu dapat menyebabkan kontaminasi yang luas pada pasir dan tanah di lingkungan sekitarnya. Dalam sebuah survei pada penduduk pedesaan di Brazil, prevalensi CLM selama musim hujan adalah 14,9% di antara anak-anak kurang dari 5 tahun dan 0,7% di antara orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih (CDC, 2010).
Di Miami, Florida pada tahun 2006 dilaporkan telah terjadi outbreak CLM pada anak-anak di perkemahan. Penderita berjumlah  22 orang (33,7%) yang terdiri dari 18 orang anak-anak usia antara 2 − 6 tahun dan 4 orang dewasa (staf) usia antara 16−19 tahun, rata mereka menderita CLM setelah berada di perkemahan selama 3,7 minggu. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari 22 penderita didapatkan keterangan bahwa peserta kemah berada di atau di sekitar bak pasir selama sekitar 1 jam setiap hari, dan semua perserta mengenakan pakaian renang di tempat itu. Empat belas (63,7%) dari 22 yang sakit tidak memakai sepatu sambil duduk di kotak pasir. Empat (18,2%) dari orang-orang melaporkan melihat kucing dekat sandbox. Selain itu, setiap pagi sebelum perkemahan, anggota staf menyapu pasir, mengubur setiap kotoran yang terlihat, yang mungkin tersebar feces di sandbox (CDC, 2007). Cara infeksi melalui kontak kulit dengan larva infektif pada tanah. Semua orang dari berbagai jenis umur, sek dan ras dapat terinfeksi penyakit ini jika terpajan larva. Mereka yang bekerja atau memiliki hobi berkontak dengan tanah berpasir yang lembab dan hangat merupakan kelompok orang yang berisiko terkena  creeping eruption. Kelompok orang tersebut antara lain orang yang tidak memakai alas kaki di pantai, anak-anak yang bermain pasir, petani, tukang kebun, pembersih septic tank, pemburu dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir.
3.     Faktor risiko
Adapun beberapa faktor risiko kejadian creeping eruption diantaranya sebagai berikut:
a.  Faktor prilaku
1)  Tinggal atau beraktifitas di daerah sepanjang pantai dengan pasir atau tanah yang lembab
Orang tinggal atau beraktifitas di daerah sepanjang pantai dengan pasir atau tanah yang lembab berisiko mengalami creeping eruption. Pada tanah dan pasir yang lembab telur dapat berkembang menjadi stadium larva (filariform) yang infektif, apabila menembus kulit manusia dapat menyebabkan terjadinya creeping eruption (Soedarto, 1991; CDC, 2010).
2)  Kontak langsung kulit dengan tanah terkontaminasi
Telur Ancylostoma Braziliense dan Ancylostoma Caninum diekresi bersama tinja anjing atau kucing. Pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, tempat yang teduh), telur akan menetas menjadi larva rhabditiform yang krmudian tumbuh di feces dan/atau tanah menjadi larva filariform (infektif). Larva filariform apabila kontak dengan kulit manusia akan mengadakan penetrasi pada kulit, sehingga menyebabkan creeping eruption (CDC, 2010; Noerhajati, S., 1998).
Anak-anak banyak yang gemar bermain tanah di halaman rumah dan banyak juga orang dewasa yang pekerjaanya sering kontak dengan tanah. Rentang waktu anak bermain tanah atau orang kontak dengan tanah berbeda-beda. Rentang waktu anak bermain di tanah berkisar antara 1 – 7,5 jam dengan rerata sebesar 3,05 jam. Dasar pemilahan kategori anak bermain di tanah menjadi “lama” dan “sebentar” berdasrkan nilai rerata tersebut. Kebiasaan bermain di tanah, dimana kebiasaan bermain yang “lama” dapat meningkatkan risiko 3,986 kali terjadinya infeksi cacing tambang pada anak dibandingkan kebiasaan bermain “sebentar” (OR : 3,9; 95 % CI : 1,7 – 9,3; p : 0,001) (Sumanto, D., 2010).
Rentang waktu pemakaian alas kaki bervariasi mulai dari 6 – 12 jam. Nilai rerata dari seluruh sampel baik kasus maupun kontrol adalah sebesar 10,47. Angka tersebut kemudian dijadikan cut of point dalam penentuan kategori kebiasaan tidak menggunakan alas kaki menjadi “tidak memakai” dan “memakai”. Dikatakan memakai apabila lama pemakaian alas kaki ≥ 11 jam per hari (Sumanto, D., 2010).
3)  Pengobatan mandiri anjing dan kucing peliharaan
Apabila anjing dan kucing mendapat perawatan rutin (minimal setiap tahun atau 2 tahun sekali), termasuk dari infeksi cacing. Apabila anjing dan kucing bebas dari infeksi cacing maka hal itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang dari hewan ke manusia  (CDC, 2010).
b.  Faktor lingkungan
1)  Kondisi lantai rumah
Lantai yang merupakan salah satu bagian penyusun rumah perlu dibuat dengan bahan yang baik. Lantai rumah yang baik dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan penghuninya. Kondisi lantai dikatakan baik apabila lantai dalam keadaan tidak lembab dan kering, dengan bahan yang kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai paling tidak perlu diplester dan akan lebih baik jika dilapisi ubin atau keramik (Depkes, 2002).
Cacing tambang yang berasal dari binatang anjing dan kucing yaitu Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum yang merupakan penyebab utama dari creeping eruption. Telur yang dikeluarkan bersama feses anjing dan kucing pada tanah yang lembab akan menetas menjadi larva rhabditiform, kemudian menjadi menjadi larva filariform yang infektif. Apabila lantai rumah masih berupa tanah, maka kemungkinan dapat dijadikan media pekembangan telur cacing tambang penyebab creeping eruption menjadi bentuk larva yang infektif. Dengan adanya larva  filariform yang infektif di dalam rumah, dapat meningkatkan risiko terjadinya creeping eruption pada penghuninya (Noerhajati, S., 1998; CDC, 2010).
2)  Keberadaan anjing dan kucing
Anjing dan kucing merupakan hospes difinitif dari cacing Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum. Feses anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum. Telur tesebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan creeping eruption (Sutanto, I., dkk., 2009).
3)  Kontaminasi pada tanah
Halaman rumah merupakan tempat yang paling sering dilalui atau untuk beraktifitas anggota keluarga terutama anak-anak. Tedapatnya telur cacing tambang termasuk Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum pada tanah di sekitar rumah terutama di halaman rumah dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi larva. Pada tanah dan pasir yang lembab telur dapat berkembang menjadi stadium larva (filariform) yang infektif, apabila menembus kulit manusia dapat menyebabkan terjadinya creeping eruption (Soedarto, 1991; CDC, 2010)
c.   Kelompok dan karakteristiknya
1)  Pekerjaan
Larva infektif penyebab creeping eruption terdapat pada tanah berpasir yang lembab. Orang yang bekerja sering kontak dengan tanah tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab creeping eruption diantaranya petani, tukang kebun, pembersih septic tank, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir (Djuanda, A., dkk., 2010).
2)  Penghasilan
Kemiskinan dapat mempengaruhi kejadian infeksi oleh cacing tambang. Prevalensi infeksi oleh cacing tambang lebih tinggi pada orang dengan kemiskinan dibanding dengan yang tidak. Hal yang menyebankan itu diantaranya karena pada orang dengan ekonomi kurang sanitasi masih kurang baik. Karena siklus hidup cacing tambang tergantung pada sanitasi yang kurang baik dan adanya kontaminasi telur pada tanah di lingkungannya. Pada orang yang status ekonominya kurang, pemeliharaan anjing atau kucing kurang diperhatikan. Biasanya mereka membiarkan anjing dan kucing bebas berkeliaran dan membuang kotoran di sembarang tempat. Konstruksi perumahan pada golongan ekonomi kurang banyak yang masih kurang baik, seperti lantai yang masih berupa tanah. Semen pada lantai rumah dapat menjadi faktor protektif untuk transmisi (Hotes, P., 2008).
Menurut Suhartono (1998), terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi ekonomi orang tua murid dan kondisi sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi cacing tambang. Hal itu juga sejalan dengan penelitian Haningrum (2005) yang menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan hidup sehat dan tingkat ekonomi dengan kejadian infeksi cacing tambang. Hasil penelitian Ginting (2005), menunjukan faktor yang ditemukan berhubungan dengan infeksi cacing adalah tingkat sosial ekonomi (OR = 2,0), sarana air bersih (OR=44,6), pengetahuan ibu (OR=13,9) dan perilaku anak (OR=20,9)
4.     Etiologi
Larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing yaitu Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum merupakan penyebab utama dari creeping eruption. Ancylostoma Brazilience merupakan penyebab tersering. Dapat disebabkan juga oleh larva yang berasal dari beberapa jenis lalat seperti cattle fly dan Castrophilus (the horse bot fly). Ditemukan juga Dermatobia maxiales, Echinococcus, Lucilia Caesar dan Strongyloides Stercoralis pada beberapa kasus (Djuanda, A., dkk., 2010).
Banyak cacing tambang yang menginfeksi pada hewan juga dapat menyerang dan menjadi parasit pada manusia (Ancylostoma Ceylanicum) atau dapat menembus kulit manusia (menyebabkan creeping eruption), tetapi tidak berkembang lebih jauh (Ancylostoma Braziliense, Ancylostoma Caninum, Uncinaria Stenocephala). Kadang-kadang larva Ancylostoma Caninum dapat bermigrasi ke usus manusia, menyebabkan enteritis eosinofilik (CDC, 2010). Penyebab yang jarang ditemukan adalah Ancylostoma Ceylonicum, Ancylostoma Tubaeforme, Necator Amricanus, Strongyloides Papillosus, Strongyloides Westeri dan Ancylostoma Duondenale (Yuliastuti, N., 2011).
5.     Siklus hidup
Adapun siklus hidup dari Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum terlihat pada Gambar 3.


                Sumber: CDC, 2010
                                                 Gambar 3. Siklus hidup cacing


Creeping eruption atau sering juga disebut Cutaneus Larva Migrans (CLM) merupakan infeksi zoonosis yang disebabkan oleh spesies cacing tambang umumnya Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum. Hospes difinitif dari spesies itu adalah anjing dan kucing bukan manusia. Siklus hidupnya adalah sebagai berikut, telur keluar bersama tinja   , pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, tempat yang teduh), larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform tumbuh di feces dan/atau tanah   , setelah 5 sampai 10 hari (dua kali berganti kulit) larva rhabditiform menjadi filariform (tahap ketiga) yaitu larva yang infektif   . Larva infektif ini bisa bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan. Pada kontak dengan host hewan (anjing dan kucing)   , larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-paru. Larva kemudian menembus ke dalam alveoli paru, naik melalui bronkiolus ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel pada dinding usus. Beberapa larva ditemukan di dalam jaringan dan berfungsi sebagai sumber infeksi terhadap anak anjing melalui jalur transmammary (melalui plasenta)  . Manusia juga dapat terinfeksi ketika larva filariform menembus kulit   . Spesies larva tidak dapat berkembang lebih lanjut dalam tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan dalam epidermis sebanyak beberapa cm setiap hari. Beberapa larva dapat bertahan dalam jaringan yang lebih dalam setelah menyelesaikan migrasi kulit (CDC, 2010).
Masa inkubasi biasanya pendek, dengan tanda-tanda dan gejala muncul dalam beberapa hari setelah penetrasi larva pada kulit. Namun, dalam beberapa kasus timbulnya penyakit mungkin tertunda selama beberapa minggu atau bulan. Waktu median untuk perkembangan gejala berkisar antara 10 sampai 15 hari (CDC, 2010). Menurut Harolz W. Brown (1982), inveksi larva ini dapat berlangsung selama beberapa minggu bahkan hingga satu tahun. Pada infeksi percobaan yang diberikan Dr. White dan Dr. Dove kepadanya, menemukan bahwa larva pertama mati dalam waktu 2 mingggu dan yang terakhir dalam waktu 8 minggu. Terdapat papul merah pada tempat larva mati.
6.     Patologi
Larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing yaitu Ancylostoma Brazilience dan Ancylostoma Caninum merupakan penyebab utama dari creeping eruption. Melalui feses telur cacing diekskresikan dan pada tanah berpasir yang hangat dan lembab telur tersebut akan menetas. Setelah 5 sampai 10 hari (dua kali berganti kulit) kemudian larva rhabditiform akan berubah menjadi larva filariform (stadium tiga) yang bersifat infektif. Pada manusia apabila terjadi kontak langsung antara kulit dengan larva filariform dapat terjadi infeksi, dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak orang tersebut. Larva akan melepas kutikelnya setelah penetrasi stratum korneum (Yuliastuti, N., 2011).
Larva bemigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis, biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal, setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala pada kulit (Djuanda, A., dkk., 2010). Manusia merupakan hospes aksidental, dimana penyakit ini hanya akan menetap di kulit saja. Hal tersebut dikarenakan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Rasa gatal dan progresi lesi muncul karena adanya inflamasi yang disebabkan adanya enzim proteolitik yang disekresi larva. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru. Dapat ditemukan larva dan eosinofil pada sputum pasien dengan keterlibatan paru-paru (Yuliastuti, N., 2011).
7.     Manifestasi klinik
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Pada awalnya akan muncul papu, yang kemudian akan diikuti bentuk yang khas, yaitu lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2 – 3 mm dan berwarna kemerahan. Munculnya lesi papul yang eritematosa ini menunjukan bahwa selama beberapa jam atau hari larva tersebut telah berada di kulit.
Selanjutnya papul merah tersebut menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk burrow (terowongan) dan mencapai panjang beberapa cm. Lebar lesi sekitar 3 mm dan panjangnya bervariasi mencapai 15 – 20  cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri. Pada malam hari biasanya akan terasa gatal yang lebih  hebat. Daerah yang paling sering dijumpai adalah pada tungkai, tangan, platar, bokong, anus dan paha atau dapat juga di bagian tubuh manapun yang sering kontak pada tempat yang terkontaminasi larva. Larva hanya haya terdapat sebatas lapisan epidermis. Pada manusia penyakit yang ditimbulkan bersifat self limited dengan kematian larva dalam waktu 1 – 2 bulan (Djuanda, A., dkk., 2010; Yuliastuti, N., 2011).
8.     Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan riwayat pajanan epidemiologi dan penemuan lesi karakteristik. Dilihat dari bentuknya yang khas, yaitu adanya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul dan terdapat papul vesikel di atasnya dan juga dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan biopsi.
9.     Diagnosis banding
Dilihat pada adanya terowongan yang harus dibedakan dengan skabies, dimana pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada penyakit creeping eruption. Apabila diliahat dari bentuk polisiklik sering  kali dikacaukan oleh dermatofitosis. Pada awalnya lesi berupa papul, karena itu sering disebut insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi dini sering menyerupai herpes zoster pada stadium awal.
10.  Pengobatan
Pengobatan dapat dialkukan dengan memberikan tiabendazol (mintezol) dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, sehari 2 kali, diberikan selama 2 hari berturut-turut. Dosis maksimum yang diberikan adalah 3 gram sehari, apabila belum sembuh setelah beberapa hari dapat diulang. Obat ini sulit didapat. Efek samping dari obat ini adalah mual, pusing dan muntah. Obat lain yang dapat di berikan adalah albendazol dengan dosis 400 mg sehari sebagai dosis tunggal, berturut-turut diberikan selama 3 hari.
Pengobatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan terapi (cryotherapy) yaitu dengan menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45” sampai 1’, berturut-turut selama 2 hari. Dapat juga dicobakan dengan menggunakan N2 liquid. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi, namun cara tersebut sulit karena kita tidak tau secara pasti keberadaan larva dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan sekitarnya.
11.  Pencegahan
Upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit creeping eruption sebagai berikut:
a.  Memakai alas kaki dan mengambil langkah-langkah perlindung lainnya untuk menghindari kontak kulit dengan pasir atau tanah yang terkontaminasi larva dari kotoran anjing atau kucing.
b.  Wisatawan yang berkunjung ke daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama di daerah pantai yang memliki kemungkinan terkontaminasi, sebaiknya memakai alas kaki  dan menggunakan tikar pelindung atau penutup lainnya untuk mencegah kontak langsung antara kulit dengan pasir atau tanah.
c.   Mengandangkan atau mencegah anjing dan kucing agar tidak berkeliaran di pantai, kolong rumah atau lokasi kerja dengan tanah berpasir yang lembab seperti tempat bekerja orang memperbaiki saluran ledeng.
d.  Perawatan rutin hewan anjing dan kucing (minimal setiap tahun atau 2 tahun sekali), termasuk dari infeksi cacing, akan mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang dari hewan ke manusia.
e.  Membuang kotoran hewan dengan tepat untuk mencegah telur menetas dan mencemari tanah (CDC, 2011; Soedarto, 1990).


PUSTAKA
Brown, H. W., 1982, Dasar Parasitologi Klinis, PT Gramedia, Jakarta.
CDC, 2007, Outbreak of Cutaneous Larva Migrans at a Children's Camp Miami, Florida, 2006, http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5649a2.htm.
CDC, 2010, Parasites - Zoonotic Hookworm http://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/biology.html
Darwannto, Juni, P.L.A., Tjahaya, P.U., 2006, Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Depkes, 2002, Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Ditjen PPM dan PL, Jakarta.
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keenam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Ginting, L., 2008, “Infestasi Kecacingan pada Anak SD di Kec. Sei Bingai Langkat, Sumut, 2005”, Journal Kesmas Vol I, Universitas Indonesia, Jakarta.
Haningrum, Sulchan, H.M., Zaenuri, H.A., 2005, Hubungan Kebiasaan Hidup Sehat dan Tingkat Ekonomi dengan Kejadian Infeksi Cacing tambang ( Necator Amiricanus dan Ancylostoma Duodenele) dan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides) Pada Anak SD Guwosobokerto 01 Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah, Semarang.
Noerhajati, S., Juwono, M, S., Soesanto, Soeyoko, Sudjadi, Sumarni, S., Sutarti, E., Mulyaningsih, B., Umayah, Mahardika A. W., 1998, Bahan Ajar (Lecture Notes) Parasitologi I, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Soedarto, 1991, Helmintologi Kedokteran, EGC, Jakarta.
Sumanto, D., 2010, Faktor Risiko  Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol Di Desa Rejosari, Karangawen, Demak), Tesis, Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Suhartono, Hendratno, S., Satoto, Kartini, A., 1998, “Faktor-faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Murid Sekolah Dasar di Kabupaten Karanganyar”, Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesiana FK UNDIP Vol 33 No 3, FK UNDIP, Semarang.
Sutanto, I., 2009, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Widoyono,  2008, Penyakit Topis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasanya. Erlangga, Jakarta.
Yuliastuti, N., 2011, Creping Eruption, http://www.scribd.com/doc/52716905/CREEPING-ERUPTION

Tidak ada komentar:

Posting Komentar